}

Kiat-kiat Mengeluh

 

Source: alamy


Menulis. Aku paham. Terkait perkara tadi aku tidak pernah betul-betul khatam dari ajar. (Walaupun jujur, semasa kecil aku sempat pikir aku brilian. Atau masih, mungkin? Sampai beberapa waktu belakangan?) Salahku. Sebuku penuh tulisan tangan dan aku tahu aku masih jauh. Sampai lalu, aku dapati ungkapan ‘katak dalam tempurung’ terdengar begitu lembut dan santun. Aku?  Aku masih berudu. Tempurung kelapa masihlah cukup untuk mencegahku berpuas diri. Demikian semestinya.

 

Aku buntu. Jujur. Sementara aku mencita-citakan sebuah benih gagasan untuk dikarang dan dikembangkan, keseharianku terlalu penuh dengan perkara-perkara yang senada dan miskin warna. Baik pengalaman menarik untuk dikulik maupun ide memikat untuk diangkat sama tidak lekas datangnya. Kenapa? Tentu. ‘Kenapa’ adalah kata sakti yang dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari menyalahkan pribadi sendiri atas apa-apa yang semestinya diusahakan. Lagi pun, siapa pula yang dengan suka rela memposisikan diri sebagai pihak yang keliru, kan? Umumnya, aku akan menyalahkan orang lain atas apa-apa yang tidak benar aku kerjakan. Dan sebab pada perkara barusan andil orang lain tidak ikut sangkut paut, aku memilih mengkambinghitamkan keadaan (apa-apa yang aku alami dan yang tidak).

 

I don’t have no right to grumble. Setidaknya, tidak untuk urusan yang tidak sepenuhnya aku usahakan (baik menulis maupun hal-hal lain yang anggapku tidak berjalan sebaik yang aku mau). Ya. Lagipula sejak awal menulis hanya satu bagian kecil dari hal-hal yang aku tunaikan penuh lalai. Baik pekerjaan, asmara atau perkara-perkara umum lain dalam hidup dengan cakupan yang lebih besar, aku akrab dengan kecewa dan penyesalan. Dan itu sepenuhnya salahku. Sekarang pun, aku tidak berpikir aku menjalani kehidupan orang dewasa yang aku ingini. Sekalipun sedari awal aku memang tidak pernah betul-betul berharap tumbuh dewasa. Okay, that one last one is out of context. So be it.

 

Aku tidak bilang aku bersih dari gerutu dan keluh. Sebaliknya. Bisa jadi mengeluh menempati peringkat kedua akan apa yang paling sering aku lakukan sejauh 25 tahun (satu tingkat di bawah tidur, tentu!). Hanya saja belakangan beberapa pertanyaan ketus (yang aku sendiri belum yakin asal-usulnya) agaknya sedikit menghambat keluh dan sambat berkembangbiak.

Me: This job sucks.

The question: Why?

Me: It’s hard.

The question: Have you done enough?

Me: yes.

The question: You sure?

Me: I don’t know. Anyway, how can I possibly give it my all? It ain’t my dream job.

The question: Then quit. Why don’t you go get one?

Me: It’s not that easy.

The question: How can you know when you don’t even give it a shot?

Me: It’s somewhere I didn’t think I could live comfortably.

The question: Is it an excuse?

Me: No! It’s obviously a reason.

The question: Okay. That’s an excuse. Why don’t you try to quit the job, get a new one, and make the place you’re about to live comfortable?

Me: How can I?

The question: Why can’t you?

 

Tidak banyak. Satu-satunya hal yang aku sadari, aku benci kalah. Tidak. Tidak pada pertanyaan yang tidak kentara pokok pangkalnya. Sampai lalu, sesaat sebelum aku sempat menimpali pertanyaan tadi dan bilang “Okay then. Imma show you and give it my best shot that if anything ever goes wrong again, you won’t be able to question me with those nonsenses”, aku paham. “Is that all you’ve got?” sudah menunggu tenang diakhir percakapan.

Aku naif. Aku memanglah berudu dalam tempurung dengan cukup ruang untuk bertumbuh dan lebih memilih banyak keluh.


No comments:

Post a Comment

Pendapatmu??